Tuesday, November 15, 2016

Comment Pup, Isu SARA, dan Rasa Kemanusiaan (Part I)

Hi, All.

Sebelum saya mulai postingan saya hari ini, ada baiknya kalian ambil cemilan dulu, karena selain temanya yang berat, isi tulisannya sendiri juga lumayan panjang.

Sebagai catatan, tulisan ini adalah sudut pandang saya sebagai pribadi, kalau suka silahkan teruskan baca sampai habis kalau tidak ya leave saja pagenya, tidak usah pakai urat lalu 'misah-misuh' bikin rusuh.




Yang pertama yang akan saya bahas ialah Comment Pup a.k.a komentar eek. Kenapa saya sefrontal itu menyebutkannya? Karena saya benar-benar kesal terhadap orang-orang yang bisanya cuma komentar di dunia maya dan bikin rusuh. As for your info, dunia internet sekarang memungkinkan segala sesuatunya terbuka, mulai dari berita, gosip, sampai nyari uang pun bisa dilakukan di depan komputer which is good. 

Tapi, buat sebagian orang di luar sana, kebaikan era internet ini disalah gunakan dan timbulah si comment - comment eek ini. Bahkan tidak jarang jadi comment war yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan isi konten yang dikomentarkan. Hal ini terkadang bikin saya gemes dan tak jarang emosi sendiri.




Hal ini terjadi beberapa kali dengan saya, belum lama ini kita dihebohkan dengan kejadian dugaan penistaan agama oleh pihak tertentu (ini berhubungan dengan isu SARA). Saya pribadi tidak pernah ambil pusing. Karena apapun hasilnya nanti tidak akan berpengaruh banyak untuk daerah saya. Saya cuma menyayangkan seorang anak bangsa yang berpotensi tinggi ditumbalkan hanya demi kepentingan sekelompok orang yang ingin bangsa ini ga maju. Aneh memang. Ternyata memang ada lho orang yang ingin negara ini tidak maju.

Balik lagi ke komentar eek tersebut, singkatnya terjadilah aksi yang katanya damai itu, namun diwarnai dengan tembakan gas air mata. Di facebook saya, ada seorang yang bertanya, "aduh, kenapa harus ditembakkan gas air mata sih?". Awalnya saya cuma diam, tidak mau ambil sikap, mungkin orang ini ga mudeng sama berita di tv, saya akhirnya menjawab komentar tersebut: "Bu, ibu bisa lihat sendiri di berita, batas waktu yang ditentukan hanya sampai pukul 18.00 dan sampai sekarang massa tidak mau bubar dan bersifat perlawanan diberitahu dengan pengeras suara tidak bergeming sehingga harus dibubarkan dengan gas air mata." Well, coba telaah kata-kata saya ini. Apakah menjawab pertanyaan si Ibu ini? Dibaca berulang kali pun konteksnya sama dia menanyakan kenapa ditembakkan gas air mata dan jawabannya sudah diberikan. And you know what? Komentar eek apa yang dibalaskan kepada saya: "Kamu ini tidak akan pernah tahu, karena kamu ini kafir seperti batu hitam yang tidak bercahaya. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kamu."




What the f**k? Apa artinya? Komentarnya tidak sesuai dengan isi konteks pertanyaannya. Hal ini bikin saya uring-uringan karena jawaban saya sama sekali tidak ada maksud menyetil sedikit pun mengenai agama/kepercayaan/whatever (saya menyampaikan fakta yang sebenarnya) dan sebaliknya saya malah dibilang batu hitam tak bercahaya???!!! Mungkin orang ini kurang piknik. Ternyata benar pas saya lihat profil orangnya, cuma bisa bilang: 'duh, sedih amat'. Done! Mulai dari situ saya hapus dan non aktifkan komentarnya. Selesai. Tidak mau ambil pusing.




Berkomentar boleh lah, but be smart. Handphonenya saja sudah smartphone, masa kalah sama handphone? Komentar-komentar eek tersebut kadang bikin saya sendiri kurang produktif, menjadi uring-uringan dan bete sendiri. Padahal, saya yakin kalau face to face langsung biasanya orang yang berkomentar eek ini otaknya dangkal, tidak bisa terima kenyataan, dan hidupnya yah itu tadi: kurang piknik. Jadilah mereka membuat komentar yang ga guna, menjatuhkan orang lain, dan merasa paling benar sedunia.

Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua, cobalah menjadi peng-comment yang bijak. Biasakan mengerti dulu isi kontent yang akan dikomentari. Bukan sekedar 'plak kejuplak' comment. Karena dari situ tercerminkan kamu yang sebenarnya. Jangan sampe jadi peng-comment yang kebanyakan konsumsi micin. Jadi ndasmu isinya cuma muter-muter disitu.


Continue to part II...

Regards and Love,
F.
Share:

1 comment: